Cinta Seorang Suami (must read)
Aku membencinya, Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka,
Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi
istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan
padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka,
Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi
istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan
padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah,
Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan
bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus
anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan,
Dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya
bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah.
bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
anak-anak ke sekolah.
Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.
hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi
hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam
aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga
dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya,
Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam
aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga
dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya,
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir
Aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku
gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya
dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku
diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa
suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai
salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah
bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga
hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya
untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya
yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan
ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap
wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun
kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama
kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, Mengaburkan pandanganku. Aku
terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya
berhenti,
Airmataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur
prosesi
pemakaman tidak mampu
membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku
sesak mengingat apa
yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa
aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang
harus kukonsumsi
terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang
ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia
sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant
dan kopi kental.
Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
instant karena aku
hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan
diriku sendiri. Aku
tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa maka masakanku
hanya kalau bersisa.
Ia pun pulang larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup jauh dari rumah.
Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah
lebih dekat ke kantornya karena tak
mau jauh-jauh dari
tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, Aku
tak mampu menahan diri lagi.
Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai
terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
pernah tahu mengapa
aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini
kuinginkan tetapi aku
malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.
Di hari-hari awal
kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku
makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau
aku sedang mengambek
dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti
biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap
ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah,
Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya
di sebelahku. Dulu
aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku
bahkan sering
terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
sering berantakan di kamar
tidur kami, Tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, Sekarang
aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih tertinggal di
sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,
Sekarang
bekasnya yang tersisa
di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televise yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.
Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah
cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan
normal
meskipun ia sudah
tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya
yang membuatku rindu.
Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi
yang membujukku agar tenang Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin
meminta maaf, Meminta maaf pada Allah
karena menyia-nyiakan
suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri
yang tidak baik pada
suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit
demi sedikit. Cinta
Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak.
Teman-temanku yang selama ini
kubela-belakan, Hampir tak pernah
menunjukkan batang
hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari
setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku
dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama
ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya
selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan hanya
jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku
untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari
kantor tempatnya
bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir
beserta kompensasi bonusnya. Ketika
melihatnya aku
terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama
ini.
Padahal aku tak
pernah sedikitpun menggunakan untuk
keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya
sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup
karena
jumlah gaji terakhir
dan kompensasi bonusnya takkan cukup
untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana ? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur
oleh dia.
Kebingunganku
terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaries memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan
seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat
tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana
tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena
harus
membuatmu bertanggung
jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
memberimu cinta dan
kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena
mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa,Aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayang kubegitu saja. Selama
ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku
tak ingin sayang susah
setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang
bisa
memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, Ya sayang.
Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku
memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama
ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga
Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, Putri tercintaku.
Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang
baik seperti Ibu. Dan Farhan, Ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke!
Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris
memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
beberapa asuransi dan tabungan deposito dari
hasil warisan ayah kandungnya.
Suamiku membuatbeberapa usaha
dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasilmeskipun
dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu
mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap
membanjiri kami
dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari
hanya
kuabdikan untuk anak-
anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku
selaman-lamanya, Tak
satupun meninggalkankesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra
putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan
seorang
pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi
istri, soalnya Farah
kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata,
“Cinta sayang,
cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan
kau akan
mendapatkan segalanya.
Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar
menerima
kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan
menyelesaikannya atas
nama cinta.”
Putriku menatapku,
“Seperti cinta ibu
untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng,
“Bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai
kalian
berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak
beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya,
Tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya
karena kematian, Tapi
aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Salam Hangat,
0 komentar:
Posting Komentar