Kamis, 18 Oktober 2012

Cinta Seorang Suami (must read)




Aku membencinya, Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami.
 Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena
 paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.

Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
 dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka,
 Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi
 istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku
 sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
 bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan
 padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.

 Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah,
 Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat
 tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan
 bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
 pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia
 memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga
 berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

 Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus
 anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan
 keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
 membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan,
 Dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
 semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami
 kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
 
Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya
 bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-
 delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah
 menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar
 anak-anak ke sekolah.

Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku
 hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
 peristiwa tahun sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.
 Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua
 orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi
 hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
 mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
 kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.
 
Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku.
 Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
 sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
 kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika
 menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam
 aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga
 dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya,
 
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari
 dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
 Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
 telepon tanpa menunggunya selesai bicara.

 Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya
 dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil
 dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir
 Aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
 jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa
 suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
 membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
 Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku
 gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
 sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi
 handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya
 dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku
 diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara
 asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,

 “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
 Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa
 suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
 Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
 dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai
 salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah
 bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga
 hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang
 gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya
 untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
 maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia
 pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
 Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya
 yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan
 ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di
 hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap
 wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat
 itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun
 kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama
 kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, Mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap
 agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian
 wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti,
 Airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi
 pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku
 sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

 Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
 makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang
 harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
 mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
 pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia
 sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant
 dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
 instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan
 diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa maka masakanku
 hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam  setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah.

Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak
 mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

 Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi.
 Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku
 tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
 memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak
 pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini
 kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.

 Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
 mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau
 aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
 memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam
 kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
 melakukan sesuatu di rumah, Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.

 Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya
 di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku
 bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia
 sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan
 hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
 me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
 masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang
 bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televise  yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan  remote.

 Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
 terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal
 meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya
 yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
 karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
 kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku  ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah
 karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri
 yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit
 demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga
 untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang  selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah
 menunjukkan batang hidung mereka setelah  kepergian suamiku.

 Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
 Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama
 ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya
 selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan  hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku
 untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari
 kantor tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji  terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika
 melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini.

 Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan  untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
 memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya
 sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
 jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya  takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi
 bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur
 oleh dia.

 Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia
 membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaries memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami
 bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat
 tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
 Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus  meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus
 membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
 memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena
 mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang  pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa,Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayang kubegitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa
 memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk
 mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
 hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan
 mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga
 Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang
 baik seperti Ibu. Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!

 Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
 suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki
 beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.

Suamiku membuatbeberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasilmeskipun dimanajerin oleh orang-orang  kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu
 mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap
 membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
 hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
 kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku
 selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkankesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

 Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang
 pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi
 istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata,
 “Cinta sayang, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
 mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar
 menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan
 menyelesaikannya atas nama cinta.”
 Putriku menatapku,
 “Seperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
 sekarang?”
 Aku menggeleng,
 “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian
 berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
 Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku
 menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya,

 Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya
 karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.




Salam Hangat,







Anda sedang membaca Artikel tentang Cinta Seorang Suami (must read), jika Anda menyukai Artikel di blog ini, silahkan masukkan email Anda dibawah ini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel baru.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...